Riwayat Santa Lusia
Kekejaman Kaisar Dicletianus terhadap
penganut Kristus telah terkenal. Namun bagi penganut Kristus sendiri
bukan merupakan empang yang dapat membendung bertambahnya jumlah mereka.
Makin banyak darah yang tercurahkan, makin besar pula jumlah yang
timbul lagi. Darah beku dari para martir merupakan benih kekal agama
Katolik.
Akibat
kekejaman musuh Kristus tak dilupakan para Kristiani baru itu. Mereka
datang mengunjungi makamnya... Berdoa sambil memohon kekuatan agar dapat
melanjutkan perjuangan keyakinannya dengan
tabah.
Kaisar telah jemu, maka
mereka pun yang tadinya terancam hidupnya, dengan aman dapat hidup
bersama keluarganya lagi. Mereka berani bertindak ke luar dengan
mendirikan gereja-gereja, mengadakan upacara-upacara persembahan,
perarakan mengelilingi kota dan lain-lainnya.
Begitu
pula halnya bagi kota Syracusa, ibukota pulau Sicilia, yang karena
akibat kekalahan Kartago dalam perang Punis I menjadi negara jajahan
Roma. Semua undang-undang yang diciptakan Kaisar Roma berlaku juga bagi
negara Sicilia.
Pagi itu Syracusa masih
berselimutkan embun dingin, namun Lucia dan ibunya yang sakit-sakitan
telah meninggalkan rumahnya.... gedung indah di tepi jalan besar, untuk
menikmati keindahan taman yang melingkarinya.
Lucia
adalah puteri bangsawan kaya lagi ternama. Sayang sekali, meski pun
keluarganya beragama Katolik, ia telah dipertunangkan dengan Tertullus,
bangsawan yang tak seagama dengan Lucia. Orang tuanya mengambil
keputusan ini dengan harapan agar Lucia dapat mempengaruhi hidupnya,
sehingga Tertullus menjadi Katolik pula.
“Ibu,”
kata Lucia memecah kesunyian.
“Kabarnya
banyak peziarah di makam Santa Agatha yang dikabulkan doa dan
permohonannya. Orang-orang sakit banyak yang disembuhkan! Baik kita coba
juga.”
“Berziarah...aku?”
tanya ibunya keheranan.
“Ya, mengapa tidak!
Sambil bertamasya, mencari pemandangan lain!”
“O, jadi
itu maksudmu! Memang, betul kejam aku selalu mengikatmu di rumah.”
“Ah bu!”
seru Lucia terperanjat.
“Sungguh bukan begitu
pikiranku! Sungguh senang hatiku dapat merawat ibu!”
“Dan
tunanganmu, juga kau ajak nanti?” tanya ibunya pula sambil mengusap-usap
tangan Lucia.
“Ya, boleh kucoba juga.
Tapi, ibu tahu, makam Santa Agatha bukan tempat untuk beramai-ramai
serta bersenang-senang. Agaknya dia tak mau!”
Sambil
mengamat-amati paras Lucia dan kemudian pandang matanya diarahkan jauh
ke muka... ibunya berkata, “Nah Lucia, baiklah! Selesaikan saja apa yang
perlu untuk perjalanan kita!”
Lucia
melompat-lompat kegirangan sambil berseru, “O ibuku tercinta, belum
pernah aku memimpikan boleh mengunjungi tempat sakti itu!”
Ibunya
tersenyum melihat Lucia seriang itu. Ya, begitulah tabiat anaknya.
Penjelmaan pancaran rasa yang tidak terhambat. Air mata dan gerak silih
berganti di mukanya seperti siang dan malam. Sebentar iba, sebentar
berderai gelaknya yang segar. Segala sesuatu di sekitarnya dikenangi
dengan sepenuh kalbunya.
Beberapa hari kemudian,
berangkatlah sebuah kafilah kecil dari kota Syracusa, menuju ke makam
Santa Agatha. Di muka sekali dua buah tandu bertenda, lengkap dengan
tirainya. Dugaan Lucia benar, tunangannya tidak sudi menyertainya.
“Apa
gunanya mengunjungi makam batu,” katanya.
“Sunyi
yang membisu tak usah kucari, akan datang padaku sendiri! Pergilah kau,
asal aku tidak terbawa-bawa.”
“Terserah,”
sahut Lucia dengan pendek dan matanya menjadi pudar lagi. Bibirnya
bergerak-gerak seperti orang yang sedang menahan tangisnya. Hatinya
kecut sekali. Itukah orang tempat di mana dia harus berlindung kelak?
Dan ibunya rupanya tidak mengetahui tingkah laku tunangannya yang kasar
dan loba!
Namun pemuda bangsawan
yang hanya mengindahkan kepentingannya sendiri, tidak menghiraukan
perubahan pada paras Lucia.
Setibanya
di tempat yang dituju, Lucia menolong ibunya turun dari tandu. Lalu
mereka meninggalkan para pengiring dan berdoa di makam Santa Agatha.
Dan, pada waktu berdoa, yang tidak disangka-sangka terjadi. Tiba-tiba
ibunya sembuh sama sekali.
Karena perasaan
terharu, Lucia meniarap di atas batu kubur sambil mengucapnya beberapa
kali. Sedangkan ibunya tak berkuasa mengatakan apa pun. Air matanya
berlinang-linang lebih nyata memaparkan isi hatinya.
Sebagai
tanda terima kasihnya kepada Tuhan dan SantaNya, Lucia meminta kepada
ibunya agar uang yang akan dipakai untuk mendirikan rumah dan membeli
perabotnya bagi Lucia, dibagikan saja kepada para fakir miskin.
Matanya
ibunya membeliak keheranan, “Ah Lucia, sayang, kau itu tidak kenal
ukuran dalam segala perbuatanmua! Jadi kau mau tinggal di rumah ibu saja
sesudah kawin?”
“Kawin, barangkali....
Bukankah masih banyak gadis lain tinggal di kota Syracusa!”
Ibunya
ternganga keheranan.
“Lucia,” serunya.
Malam
itu, mereka tidak membahas lagi tentang hal itu.
Tapi
keesokan harinya, ibunya berkata, “Ibu pun merasa berhutang budi
terhadap Santa Agatha. Maka uang simpanan yang hendak kau bagi-bagikan,
ambillah! Tapi pertalian yang telah mengikat dirimu, tak boleh kau
putuskan, Lucia. Kau harus menikah dengan Tertullus.”
“O tentu
ibu, namun hanya bila dia tahan uji dan tidak gila harta!” sahut Lucia.
“Aku
tidak mengerti pikiranmu, Lucia,” ujar ibunya pula dengan agak sedih.
“Tak
mengapa bu, kelak ibu akan mengerti!”
“Jangan
putus asa, Lucia! Mudah-mudahan, karena pengaruhmu, Tertullus akan mau
beragama Katolik sesudah menjadi suamimu.”
Seketika
sunyi senyap.
Lalu Lucia berkata,
“Karena pengaruhku? Ah tidak bu, mungkin karena pengaruh uangku. Coba
ibu saksikan saja.”
Tiap-tiap hari
segerombolan para miskin di kota Syracusa, mendapat surat undangan
datang di rumah Lucia untuk menerima pemberiannya, yang diterimanya
dengan sangat gembira pula. Tiap hari Lucia membagikan sebagian dari
uang simpanannya yang banyak itu. Orang menggeleng-gelengkan kepalanya
dan menyiarkan kabar yang aneh itu dan sampai pula di telinga Tertullus
yang menerima dengan marahnya.
Segera
ia pergi ke rumah Lucia, “Gilakah engkau, Lucia? Apa maksudmu
memboroskan uang sebanyak itu?”
Lucia
memandang kepada Tertullus dan dengan tenang berkata, “Gilakah aku jika
mempunyai keinginan kaya raya kelak? Aku sedang membayar dan semoga
dapat melunasi rumah kita di surga.”
Marah
Tertullus makin menjadi, “Omong kosong....takhayul belaka. Besok akan
kuusir mereka dari halaman!”
“Kau
belum berhak bertindak di halaman ini, Tertullus. Tambahan pula, menurut
perjanjian, uang simpananku telah menjadi hak milik para miskin.”
“Kularang
kamu menepati janji itu,” teriak Tertullus dengan sangat marah.
“Jika
tidak.....”
“Apa jika tidak,” tanya
Lucia.
Tertullus tak
menyelesaikan kalimatnya dan terus pergi. Sejak saat itu, ia tak tampak
lagi datang di rumah Lucia.
Panas
hatinya dan kelobaannya akan harta, membuatnya berusaha untuk
membalaskan dendamnya. Ia sendiri menjadi pendakwa tunangannya. Hakim
yang tidak beriman pun mempersembahkan surat tuduhannya kepada Sri
Baginda Kaisar Roma.
Maka, api yang telah
lama padam, dengan tiba-tiba saja mulai bergelora lagi. Lucia disalahkan
dan dituntut di muka hakim.
Ibunya
menangis tersedu-sedu mendengar kabar itu. Dan Lucia mencoba
menghiburnya.
Katanya, “Jangan
khawatir bu! Tunangan pilihan ibu tak sudi menerimaku karena merasa
kehilangan harta. Namun, kekasihku yang sejati telah menyediakan tempat
kediaman bagiku di Firdaus Surga. Sebab itu agaknya ibu disembuhkan
lebih dahulu, supaya tidak membutuhkan perawatan lagi.”
Lalu
Lucia memeluk ibunya dan berangkatlah dia akan menghadap ke pengadilan.
Ruang
yang luas telah penuh sesak orang yang ingin mengetahui bagaimana
keputusan perkara istimewa itu. Tepat pada waktunya pintu sebelah muka
terbuka.
Seorang puteri
bangsawan, cantik lagi muda, diiringkan masuk.
“Lucia,”
bisik sekalian hadirin.
Mata mereka seperti
hendak menelan gadis itu.
Lucia menunggu dengan
tenang, kepalanya terangkat sedikit, senyum kecil menghiasi bibirnya.
Gaunnya dari sutera, putih halus. Kain tudungnya cerah bertepikan
sulaman benang emas. Pada tangannya yang tampak ke luar sedikit dari
ujung kain tutup itu, kelihatan sepasang gelang indah buatannya.
Sedangkan kakinya yang kecil beralaskan sepasang selop yang sedang
tinggi tumitnya.
Pada hari-hari yang
terakhir, dapatlah Lucia menyusun pikirannya. Yang kecil-kecil, yang
meragukan hatinya, tak dipedulikannya lagi. Hanya satu perkara yang
terang teringat olehnya. Ia harus mempertahankan kesucian jiwanya dan
mempertahankan kepercayaannya!
Sekali
lagi pintu muka terbuka, masuklah Paschasius, pembesar kota Syracusa.
“Daulat
tuanku,” seru sekalian hadirin sekuat-kuatnya yang dijawab Paschasius
dengan senyuman.
Apakah senyuman itu
timbul dari kesenangan hati ataukah mengandung kebanggaan karena insyaf
ia sedang disanjung-sanjung? Entahlah!
“Lucia!”
suara hakim menyebabkan seisi bangsal membisu.
“Atas
nama Sri Baginda Kaisar Diocletianus, sembahlah berhala itu dan
taburkanlah beberapa butir kemenyan dalam pendupaan itu!”
Lucia
tidak bergerak, namun suaranya nyaring terdengar, “Maaf, tapi menurut
pendapatku, hanya Kristus yang boleh disembah secara begitu.”
Para
hadirin mulai gelisah.
Maka berteriaklah si
hakim, “Tak kusangka engkau sejahat itu! Engkau telah berani memboroskan
uang ayah bundamu, dan sekarang berani melanggar titah Kaisar.
Perbuatan anak yang durhaka itu tiak boleh kubiarkan saja. Rasakan nanti
pukulan cemeti, anak jahanam!”
Sambil
menarik nafas panjang Lucia menjawab, “Tuduhan ini tidak beralasan.
Seumur hidup aku jaga baik-baik kemurnian jiwa serta tubuhku. Cinta itu
tak akan kuabaikan.”
O, alangkah besarnya
bencana yang menimpa Lucia kini!
Paschasius
terhasut setan rupanya. Dengan bermacam-macam cara, Paschasius mencoba
merusakkan kekuatan Lucia. Namun Lucia tak dapat diganggu atau
digerakkan lagi. Kemudian seorang algojo menikam leher Lucia dengan
kejamnya.
Seorang wanita
bangsawan yang tidak mengindahkan coreng angus pada gaunnya, membungkuk
di samping Lucia. Sebentar Lucia membukakan matanya.... “Ibu!”
“Berbahagialah
Lucia.” bisik ibunya sambil menunjukkan seorang Imam yang siap sedia
menerimakan Ekaristi Suci.
Lucia
menyambut untuk terakhir kalinya. Senyum bahagia menyinari parasnya yang
sudah memucat. Sejurus kemudian, bercerailah roh Lucia dengan badannya
yang murni itu.
Dan manusia yang oleh
keangkuhannya menyangka, bahwa dunia inilah tempat yang seutama-utamanya
dan semulia-mulianya tidak memahami hal Lucia. Mereka pergi sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun Tuhan Yang Mahaadil, berpendapat
lain sekali.
Pada tanggal 13
Desember 304, Santa Lucia diangkat sebagai puteri Surgawi.
Komentar
Posting Komentar